JAKARTA,Indotimes.co.id – Pada hari Sabtu 29 Mei 2021 telah dilangsungkan kegiatan Diskusi Lingkar Inspirasi yang diadakan oleh Departemen Riset dan Kajian Strategis Perhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda (Kastrat PPIB) dan The Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) dengan topik “Economic Feasibility of Green Hydrogen Development in Indonesia”. Acara ini dilaksanakan melalui Zoom dan disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube PYC. Topik ini berangkat dari isu mengenai energy security, sustainability, climate protection, dan environmental protection yang telah mempengaruhi kebijakan energi di dunia.

Diskusi diawali dengan sambutan dari Christina Refina selaku Koordinator Fungsi Ekonomi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag. Christina melihat topik green hydrogen sangat relevan dan strategis terkait dengan suplai energi yang berkelanjutan sebagaimana komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi karbon. Christina memberi gambaran bahwa Belanda adalah salah satu pemain utama sistem hidrogen dengan mengadopsi 2020 Dutch National Hydrogen Strategy. Christina mengakhiri sambutan dengan mempromosikan peran KBRI yang aktif berkolaborasi dengan berbagai mitra dalam mengkaji topik renewable energy dan alih teknologi terbarukan seperti dibentuknya Indonesia Netherlands Technology Partnership Forum (INTPF) yang tahun ini bertemakan bridging the gap and harnessing sustainable energy.

Sekretaris Jenderal PPIB, Reiffel Rezqiriandhana, B.S. memberikan sambutan kedua dengan mengaitkan hidrogen kepada isu energy security yang bertalian erat dengan bertambahnya populasi penduduk di dunia. Pada saat yang sama isu sustainability, climate protection, dan environmental protection penting untuk dibahas melihat fakta adanya degradasi lingkungan dari masa ke masa. Ia melanjutkan dengan bertanya, apakah memang hidrogen bisa menjadi solusi energi bersih di tengah isu energy security dan sustainability? Kapan dan bagaimana hidrogen bisa berkembang menjadi sumber energi yang penting di dalam sistem energi Indonesia?

“Kami berharap bahwa kegiatan ini dapat memberi gambaran mengenai jawaban pertanyaan tersebut. Reiffel menutup dengan menyatakan bahwa kolaborasi PPIB dan PYC ini adalah wujud PPIB yang mendukung dan membuka peluang kolaborasi dengan banyak pihak baik nasional maupun internasional untuk bersama mengkaji solusi terkait energy security, sustainability, climate protection, dan environmental protection,” katanya.

Baca Juga:  Laju Pertumbuhan Kendaraan Listrik Naik, PLN Ajak Negara ASEAN Kolaborasi Bangun Bisnis Charging Station

Ketua Umum PYC, Filda Citra Yusgiantoro, S.T., M.B.M., M.B.A., Ph.D. menyampaikan hal yang  sejalan dengan Christina dan Reifel dan menambahkan apa yang yang menjadi tantangan dan kelebihan yang dimiliki Indonesia dalam pengembangan green hydrogen. Filda mempromosikan PYC sebagai organisasi nirlaba yang berfokus pada penelitian yang independen dan mendalam guna memberikan solusi dan rekomendasi kepada kebijakan terkait sumber daya alam dan energi.

“Kegiatan ini adalah sebagai rangkaian dari PYC International Energy Conference yang akan dilaksanakan pada 6 Oktober 2021. “education is a powerful bridge for one to make a change” dan kepada para pelajar “you are our future agent of change to make this world a better place to live”, ujarnya.

Pada kesempatan ini, topik utama dibagi menjadi tiga sub topik yang disampaikan oleh tiga pembicara. Pembicara pertama, Muhammad Shiddiq Sumitro, S.T., M.Sc., aktif sebagai konsultan energi terbarukan di Sweco di Belanda dan Managing Director di PT Transisi Enjiniring. Pembicara kedua, Dr. Alloysius Joko Purwanto, S.T., DEA, merupakan seorang researcher yang membidangi ekonomi energi di Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). Pembicara ketiga adalah Dr. Ir. Saleh Abdurrachman, M.Sc. yang merupakan staf ahli Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). Tiga sub topik secara berurutan dibagi kepada pengenalan tentang konsep hidrogen dan pembahasan penyediaan listrik dari energi terbarukan yang menjadi sumber utama elektrolisis; produksi hidrogen dan penggunaannya saat ini di Indonesia; serta sampai pada tahap mana saat ini Indonesia dan kebijakan pemerintah terkait pengembangan hidrogen.

Baca Juga:  Inilah Pemenang Citi Microentrepreneurship Awards (CMA) 2018-2019

Pembicara pertama, Muhammad Shiddiq Sumitro, S.T., M.Sc. merangkum bahwa green hydrogen akan ekonomis jika levelized cost of electricity (LCOE) di bawah 3 cent USD/kWh dan plant utilization rate di atas 50%. Shiddiq mengawali dengan memperkenalkan jenis-jenis hidrogen: grey hydrogen, blue hydrogen, turquoise hydrogen, dan green hydrogen sembari mengutip IRENA. Melihat kondisi eksisting Indonesia, green hydrogen dapat diproduksi menggunakan sumber energi terbarukan seperti solar energy, hydro power, dan geothermal. Menyadari pentingnya infastruktur listrik sebagai penopang sistem hidrogen, Shiddiq menyampaikan pembelajaran yang bisa dipetik dari Belanda, antara lain: infrastruktur listrik yang reliable dan kemudahan interkoneksi antar grid, dukungan pemerintah melalui kebijakan atau insentif, dan dukungan masyarakat melalui keterlibatan kepemilikan. Kemudian yang terakhir adalah sinergi antara industri dan universitas seperti dibentuknya konsorsium penelitian.

Pembicara kedua, Dr. Alloysius Joko Purwanto, S.T., DEA menyampaikan bahwa saat ini produksi hidrogen Indonesia mayoritas adalah grey hydrogen. Hidrogen ini mayoritas diproduksi dari natural gas dan batu bara dan digunakan untuk industri fertilizer, produksi methanol, dan di refinery. Joko menjelaskan trend turunnya harga produksi green hydrogen pada tahun 2010 yang lebih dari enam kali lipat hingga pada tahun 2030 diperkirakan bahwa produksi green hydrogen akan sedikit lebih mahal dari konsep hidrogen lainnya. Joko menggaris bawahi adanya peluang produksi hidrogen memanfaatkan karakteristik keputus-sambungan energi terbarukan. Joko mengakhiri paparannya dengan merekomendasikan antara lain: perlu dilaksanakan studi detail tentang Indonesia mengenai bagaimana meningkatkan skala ekonomi hidrogen berbasis rendah karbon, perlu dikembangkan regulasi atau kebijakan khusus terkait hidrogen, perlu dikembangkan mekanisme pembiayaan untuk menggairahkan atmosfer investasi terkait hidrogen bersamaan dengan diberikannya insentif oleh pemerintah, dibutuhkannya sistem pengelolaan yang baik di sistem kelistrikan, dan pembagian kepemilikan di pasar listrik.

Baca Juga:  UU Kewirausahaan Bakal Dorong Penghematan Anggaran

Pembicara terakhir, Dr. Ir. Saleh Abdurrachman, M.Sc., menyampaikan bahwa energi terbarukan adalah hal yang tidak bisa dibendung di masa depan. Hal ini dapat dilihat dari komitmen Indoneisa di Paris 2015 UN Climate Change Conference antara lain global commitment untuk aktif membatasi kenaikan suhu global 2oC, national commitment untuk mengurangi emisi greenhouse gas (GHG) sebesar 29% atau 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030, dan energy sector commitment untuk mengurangi emisi GHG sebesar 314-398 juta ton CO2 pada tahun 2030 dengan pengembangan energi terbarukan, implementasi efisiensi energi, konservasi energi, dan aplikasi green technology. Saleh menuturkan bahwa green hydrogen di Indonesia saat ini ada pada level riset dan proyek komersial masih belum tersedia. Riset hidrogen ini antara lain hidrogen sebagai bagian dari fuel cell system oleh BPPT, UI, ITB, dan LEMIGAS. Kemudian riset juga dikerjakan oleh Antasena kampus ITS, PT Telkomsel, dan BPPT & Toshiba ESS, ALSTOM-PT KAI-MEMR. Selain itu, pilot project produksi green hydrogen juga sedang dikerjakan oleh Pertamina geothermal energy. Ada pula inisiasi proyek hybrid green hydrogen menggunakan tenaga surya dan angin di pulau Sumba dengan kapasitas mencapai 8 MW. Saleh mengutip IRENA bahwa green hydrogen akan kompetitif dengan blue hydrogen pada 2050 di angka 1.38 USD/kgH2. Saleh menutup dengan kesimpulan antara lain: peran hidrogen akan meningkat sejalan dengan usaha bersama secara global untuk memenuhi target Paris Agreement, pentingnya dikembangkan sebuah pusat studi hidrogen yang melibatkan BUMN dan swasta dengan target yang jelas dan adanya dukungan pendanaan, serta perlunya kolaborasi antara institusi internasional dan produsen hidrogen untuk mempercepat pengembangan hidrogen.