Buang BBM ke Laut Kapal Meratus Langgar Aturan Perundang-undangan

JAKARTA, Indotimes.co.id – Dalam sidang lanjutan kasus penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jumat (10/2) saksi Edy Setiawan yang juga karyawan PT Meratus Line membongkar praktek penjualan BBM Pocket yang selama ini terjadi.

BBM Pocket adalah BBM sisa kapal yang oleh para anak buah kapal (yang sering berperan di sini adalah KKM dan Masinis I) dianggap sebagai miliknya yang kemudian dijual kembali untuk kepentingan pribadi.

Menurut Edy, sering kali BBM Pocket ini juga tidak terjual karena harga yang tidak cocok. Sementara pihak kapal dalam hal ini KKM dan Masinis I tahunya barang tersebut harus jadi uang berapapun itu.

“Jika tidak maka yang terjadi mereka akan membuang BBM Pocket tersebut ke laut, karena tidak mau ambil resiko menyimpannya di kapal,” kata Edy.

Sementara itu, pegiat lingkungan Surabaya Teguh Ardi Srisnto mengatakan, praktek dumping atau pembuangan bahan kimia atau bahan-bahan beracun berbahaya termasuk BBM ke laut telah terjadi ari dulu sampai saat ini yang melibatkan PT Meratus Line dengan Pekerja PT Bahana Line di PN Surabaya. Padahal sudah ada aturannya dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan aturan itu sudah sangat jelas.

“Khusus terkait pembuangan BBM ke laut juga melanggar UU tentang Kelautan,” ujarnya.

Terkait pencemaran terhadap laut, lanjut dia,  maka apa yang disampaikan pekerja Meratus di Persidangan bahwa kapal milik Meratus melakukan tentu melanggar peraturan yang berlaku.

“Kalau pembuangan BBM Kelaut mencemari dan merusak biota, maka semua yang terlibat harus bertanggung jawab. siapa pun pelakunya. Baik itu kapten kapal dari pihak Meratus yang membuang solar itu ke laut, termasuk pimpinan atau direksi PT Meratus juga Pemilik Perusahaan karena kapal atau armada yang digunakan itu milik Meratus,” kata Ardi.

Selain itu, para pelaku yang juga merupakan karyawan Meratus maka otomatis tanggung jawab sepenuhnya. “Karena itu, ada di direksi jadi direksi Meratus harus bertanggung jawab atas kinerja dari anak buahnya kenapa kok sampai terjadi seperti itu,” ungkapnya.

Ardi juga mengaku heran kenapa Meratus tidak melapor ke polisi kalau kehilangan minyak. “Ini saya kurang paham kenapa. Ini perlu diselidiki ada apa kok Meratus yang sebenarnya merugi kok justru tidak melapor ke polisi selama 7 tahun terakhir,” ujar dia.

Dia menambahkan,  informasinya kasus itu sudah ada sejak 2015 hingga 2022 jadi cukup lama sekali. Kalau memang solar itu dibuang atau pencemaran itu dilakukan setiap hari maka sudah berapa banyak yang sudah dibuang ke laut. “Ini yang perlu ditanyakan dan perlu dimintai pertanggungjawaban karena sudah melanggar undang-undang,” kata Ardi menegaskan.

Untuk itu,  kata dia, bila kasus tersebut nanti akan diusut secara mendalam dirinya bersama teman-teman akan melakukan pengawalan hingga ke pelaku utama dan penanggung jawab utama kegiatan pembuangan solar ini ke laut.

Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC) Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa menegaskan,  tidak benar BBM sisa di atas kapal (BBM pocket) milik KKM dan Kapten Kapal karena itu milik dan tanggung jawab perusahaan pemilik Kapal atau operator kapal.

“Karena BBM sisa adalah milik perusahaan maka jika sampai BBM sisa ada yang dibuang ke laut maka tentunya itu menjadi tanggung jawab perusahaan dan atau pemilik kapal. Jika perusahaan tidak mempersoalkan baik penjualan atau pembuangan BBM sisa tersebut ke laut, maka bisa dianggap BBM sisa itu bukan milik perusahaan,” kata Marcellus Hakeng.

Lebih jauh dia mengatakan, BBM sisa kapal juga tidak boleh dibuang di laut karena dilarang oleh hukum internasional dan oleh Peraturan Perundang-undangan banyak negara. Dimana diatur dalam Konvensi Marpol (International Convention for the Prevention of Pollution from Ships) yang berisikan perjanjian internasional yang mengatur masalah pencemaran lingkungan oleh kapal dan melarang dengan tegas pembuangan bahan bakar minyak di laut.

Dia menjelaskan, pembuangan bahan bakar minyak ke laut dilarang oleh berbagai undang-undang dan peraturan, antara lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 87 ayat (1) dan (2), dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 105 ayat (1) dan (2).

Selain itu,  juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Bakar Minyak Kapal, Pasal 4 ayat (1) dan (2) serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Bahan Bakar Minyak Kapal dan Limbah Bahan Bakar Minyak Kapal, Pasal 6 ayat (1) dan (2).