Ancaman Propaganda Pro-Khilafah: Dari Kajian Tertutup Hingga Pop-Culture

JAKARTA, Indotimes.co.id – Belakangan ini muncul acara bernuansa pop-culture dengan judul “Metamorforshow: It’s Time to be Ummah” yang digelar di Teater Tanah Airku, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) 19 Februari 2024 lalu. Kegiatan itu ditengarai sarat dengan propaganda penegakan khilafah oleh kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Prof. Sri Yunanto, M.Si., PhD. selaku Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) mengingatkan kepada semua pihak bahwa pergerakan kelompok pro-khilafah masih tetap eksis di Indonesia.

“Kita semua harus memahami bahwa gerakan yang ingin mengangkat sistem khilafah itu belum benar-benar hilang dalam masyarakat Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam. Walaupun organisasi Hizbut Tahrir Indonesia itu sudah dibubarkan oleh pemerintah pada tahun 2017 lalu, namun aktivitasnya tetap berjalan dibawah permukaan,” ungkap Prof. Yunanto di Jakarta, Kamis (29/2).

Dirinya menjelaskan bahwa seperti halnya gerakan clandestine lainnya yang pernah ada di belahan dunia manapun, dilarangnya HTI tidak membuat geliat para aktivisnya mati. Bahkan bisa diketahui bersama, melalui acara “Metamorforshow: It’s Time to be Ummah” mereka justru memperlihatkan usahanya menarik simpati generasi muda melalui format acara yang menyenangkan seperti stand-up comedy dan konser musik.

“Memahami eksistensi HTI, yang terjadi adalah hanya organisasinya yang dibubarkan, tetapi para aktivisnya masih secara sembunyi-sembunyi atau bahkan agak berani terbuka, mencoba menyebarkan gagasan penegakan khilafah melalui berbagai cara. Jika dulu caranya masih melalui forum atau kajian tertutup, ternyata baru-baru ini kita ketahui bersama jika HTI mulai menggunakan forum terbuka dan bahkan sifatnya entertaining,” imbuh Prof. Yunanto.

Ia juga menyinggung ketegasan Pemerintah Indonesia dalam menjalankan peraturan hukum yang berlaku. Sebenarnya sudah ada dan jelas regulasinya di Undang-Undang Ormas nomor 2 tahun 2017, bahwa siapapun dilarang untuk menyebarkan dan melaksanakan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Melalui platform perundang-undangan, sebenarnya Pemerintah melalui aparat penegak hukum punya dasar yang kuat untuk melakukan penindakan. Namun, hingga saat ini belum terlihat secara nyata keseriusan dari penegak hukum yang ditandai dengan masih mungkinnya acara tersebut diselenggarakan. 

Menurutnya, bisa saja kelompok HTI memanfaatkan momentum pasca Pemilu 2024 yang menyedot perhatian publik dan Pemerintah. Kesempatan ini bisa jadi dianggap sebagai peluang dan dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok radikal seperti HTI untuk melancarkan kegiatan propagandanya.

“Pemanfaatan momen pasca Pemilu 2024 ini menandakan bahwa ideologi pro-khilafah di Indonesia belum hilang sepenuhnya. Mereka masih punya kesempatan dan semangat untuk menyebarkan pemahaman radikalnya dengan lebih luas,” jelas Prof. Yunanto.

“Menjadi penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk bisa terlibat dalam upaya kontra narasi terhadap propaganda khilafah. Tentu ini semua juga harus didukung dengan supremasi hukum yang nyata dari Pemerintah Indonesia,” tambahnya.

Dirinya juga berharap bahwa masyarakat dan Pemerintah bisa memiliki kewaspadaan yang tinggi terhadap hal semacam ini. Jika terlambat penanganannya, maka dikhawatirkan ideologi pro-khilafah akan lebih mengakar dan lebih sulit lagi untuk ditangani. Ibarat api yang menyala, jika dibiarkan menjalar kemana-mana, maka akan lebih sulit lagi untuk dipadamkan.

Mengingat visi Indonesia Emas pada tahun 2045 yang membutuhkan kesiapan generasi muda, Prof. Yunanto menyoroti bahwa visi ini hanya bisa dicapai jika anak muda Indonesia memiliki ketahanan pada ideologi transnasional.

Alangkah sia-sianya jika punya banyak warga yang pintar dan terampil, namun lemah secara ideologinya, bahkan cenderung anti Pancasila. 

“Maka dari itu, persiapan Indonesia yang ditanamkan kepada anak mudanya tidak cukup soal intelektual, skill, sosial, dan psikologi. Pemerintah dan masyarakat juga harus serius untuk membekali generasi muda Indonesia dalam aspek ideologinya yang dimulai dari empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang-Undang 1945,” tegas Prof. Yunanto.

Selain itu, ia juga menekankan pentingnya penyertaan pemahaman kebangsaan dan kewarganegaraan melalui kurikulum formal secara lebih eksplisit. Perlu dinyatakan secara lebih jelas bahwa ideologi Pancasila yang menjadi landasan bernegara Indonesia memang mendapatkan ancaman dari pihak luar, salah satunya melalui HTI dan propaganda pro-khilafahnya.

“Bersamaan dengan mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, Pemerintah dan masyarakat juga harus serius memperkuat sisi ideologi anak-anak dan remaja yang akan meneruskan jalannya bangsa ini. Saya berharap, pemerintahan yang akan dilantik nanti bisa melanjutkan kebijakan Presiden Joko Widodo yang sudah terbukti bisa mengatasi ancaman dan tantangan ideologi bangsa,” tandas Prof. Yunanto.