JAKARTA, Indotimes.co.id — Pemerintah berencana memungut pajak pertambahan nilai () pada jasa atau . Hal ini sebagaimana tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (KUP).

Dalam aturan tersebut, jasa pendidikan dihapus dari jasa yang tidak terkena atau dikecualikan dari PPN. Artinya, jika revisi UU KUP ini disetujui, maka jasa pendidikan akan menjadi objek pajak dan dikenakan PPN.  Bahkan kemungkinan PPN akan ditetapkan sebesar 12 persen.

Hetifah Sjaifudian selaku Wakil Ketua Komisi X RI menolak keras wacana tersebut. “Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia dan bagian dari tujuan penyelenggaraan negara yang dijamin dalam konstitusi kita. Jika Jasa Pendidikan dikenakan pajak, hal ini akan bertentangan dengan cita-cita dasar kita untuk mencerdaskan bangsa berdasarkan ,” ujar anggta Fraksi Partai Golkar itu, Jumat (11/6).

Baca Juga:  Pakar Hukum Berharap RUU KUHP Segera Disahkan

Menurut Hetifah, saat ini saja, tanpa pajak, banyak sekolah yang sudah kesulitan dalam menyelenggarakan kegiatan operasionalnya. Jika ditambah PPN maka banyak sekolah semakin terbebani.

“Di banyak sekolah, dana BOS masih belum mencukupi untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang berkualitas. Guru honor banyak yang belum mendapat upah yang layak. Tak jarang, pungutan pun dibebankan pada orangtua siswa,” paparnya. Ia menambahkan, jika PPN diterapkan, akan memperparah kondisi tersebut.

Hetifah yang merupakan wakil rakyat asal Dapil  ini menyadari, pada masa pandemi ini pemerintah memang membutuhkan banyak dana untuk pembangunan.

“Kemarin saya baru saja mengikuti konsinyering dengan Kemendikbudristek. Banyak anggaran yang dipangkas untuk penanganan pandemi. Selain itu, penerimaan negara juga lebih sedikit,” jelasnya.  Namun demikian, hal itu menurut Hetifah bukan menjadi alasan untuk memungut pajak dari sektor pendidikan.

Baca Juga:  Tekan Covid-19, Pemprov Banten Terapkan Tugas Kedinasan Kantor Sebesar 10%

“Pajak merupakan sarana dari redistribution of wealth. Untuk terciptanya pemerataan, justru anggaran untuk pendidikan harus ditambah. Bukan sebaliknya pemerintah mengambil dari sektor pendidikan,” ungkapnya.

Hetifah menganggap, sumber bisa digali dari sektor-sektor lainnya, misalnya dengan menerapkan pajak progresif. Hetifah yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Partai Golkar bidang Kesra ini juga beranggapan, hal itu bertentangan dengan visi misi pemerintahan saat ini.

“Visi dan Misi pemerintahan saat ini salah satunya adalah Peningkatan Kualitas Manusia melalui reformasi Pendidikan yang dapat terjangkau oleh semua masyarakat Indonesia. Jika PPN pendidikan ini diterapkan, maka akan sangat kontradiktif dan menghambat tercapainya visi misi tersebut. Harus kita kawal agar jangan sampai terjadi,”  pungkasnya.