Salamuddin: Pajak Freeport, Negosiasi atau Tipu-Tipu?

JAKARTA, Indotimes.co.id – Tiga tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi terlewati, namun hingga kini negosiasi dengan PT Freeport belum membuahkan hasil sama sekali.

Pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menegaskan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diganti dengan Ignasius Jonan eks Menteri Perhubungan yang dipecat diharapkan menjadikan proses negosiasi berjalan melewati jalan Tol yang lancar, namun apa mau dikata, macet juga.

“Menyedihkan. Ini sudah lama sekali Pak Presiden. Sementara Freeport jalan terus, pengerukan jalan terus, ekspor jalan terus,” kata Salamuddin Daeng dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (18/10).

Bahkan, kata dia, kondisi ini lebih parah lagi karena di depan publik pemerintah membawa jargon nasionalisme, nasionalisasi Freeport dan lain-lain, tapi faktanya tidak ada satupun dari yang di negosiasikan sesuai dengan harapan.

Diketahui, terdapat empat hal yang menjadi ponit krusial dalam negosiasi dengan Freeport, yakni pertama, terkait dengan perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khsus (IUPK). Kedua, terkait divestasi saham 51 persen dan ketiga, terkait pembangunan smelter sebegai alat pemurnian bahan mentah konsentrat. Kemudian  keempat, terkait dengan peningkatan pajak Freeport.

Menurut dia, point satu sampai tiga telah gagal menjadi alat untuk memperjuangkan kepentingan nasional. Maka, harapan terakhir adalah peningkatan penerimaan negara dari bea keluar (tarif) dan dari pajak yang harus dibayarkan Freeport kepada negara Indonesia.

“Tapi apa yang terjadi? Sebelumnya ada baiknya kita memahami beberapa kewajiban pajak Freeport dalam Kontrak Karya (KK) dan peraturan perundangan di Indonesia,” ujar Salamuddin.

Dalam KK Pasal 13 mengatur kewajiban perusahan untuk membayar kepada pemerintah 13 jenis pajak dan lain kewajiban keuangan perusahaan meliputi pajak/ iuran tetap/royalty/biaya materai/bea masuk/pungutan-pungutan/pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemda dan pungutan-pungutan administrasi umum serta pembebanan untuk fasilitas atau jasa dan hak-hak khusus yang diberikan oleh pemerintah.

Penghitungan kewajiban keuangan tersebut diatur secara rinci dalam Pasal 13 dari angka 1 sampai dengan angka 13.

Salamuddin mengingatkan bahwa pada Pasal 131 UU Minerba menyebutkan, besarnya Pajak dan PNBP yg dipungut dari pemegang IUPK ditetapkan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

Dengan demikian maka PT FI harus  mengikuti aturan pajak yang berlaku dengan perubahannya (prevailing) sesuai Pasal 131 UU RI Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.

“Tapi apa yang terjadi? Harapan rakyat Indonesia khususnya masyarakat Papua untuk mendapatkan kenaikan pajak dari Freeport, malah hasilnya terbalik 180 derajat,” kata Salamuddin.

Sebab Menteri ESDM Ignasius Jonam dan teman-temannya justru memberikan keringanan kepada Freeport.

Faktanya, kata Salamuddin, hingga Oktober 2017, PT Freeport Indonesia (PTFI) diperbolehkan untuk pengenaan bea ekspor sebesar 5 persen dengan mengantongi kesepahaman bersama (memorandum of understanding/MoU) yang telah disepakati pemerintah dan PTFI.

Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 13/PMK.010.2017 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar, untuk mendapatkan bea keluar 5 persen, kegiatan pembangunan fisik fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) sudah harus 30 persen.

Sementara, sejak membangun smelter di Gresik, Jawa Timur pada 2014 silam, pembangunan smelter berkapasitas 2 juta ton konsentrat itu baru mencapai 14 persen sampai saat ini. Karena itu, merujuk pada PMK yang ada, PTFI harus membayar bea keluar 7,5 persen untuk ekspor konsentrat.

Dia menambahkan,  pemerintah berencana menerbitkan rancangan peraturan pemerintah (RPP). Berdasarkan bocoran dalam BAB VII Pasal 14 menyebutkan, tarif pajak penghasilan badan (PPh) Freeport hanya 25 persen. Turun dibandingkan dengan PPh badan Freeport dalam rezim KK, yakni 35 persen.

“Ini negosiasi macam apa? Kalau semua poin yang dinegosiasikan bersifat merugikan negara dan rakyat Indonesia, maka tidak dapat dikatakan sebagai negosisiasi, tetapi zero sum game, nol besar atau omong kosong saja. Kalau di zaman pemerintahan sebelumnya seorang menteri yang neoliberal mengaku neoliberal, bahkan berani mengatakan “kantongi nasionalismemu!”, sekarang para penjual negara mengaku nasionalis. Kira kira lebih baik mana ya? Mohon pencerahan dari rakyat,” kata Salamuddin.